Bagi Anda yang sering bepergian menggunakan bus antar kota, tahukah Anda bagaimana sejarah awal mula industri otobus di Indonesia? Sebelum moda transportasi berbasis mesin berkembang, masyarakat Indonesia masih mengandalkan alat transportasi tradisional seperti pedati (gerobak sapi) untuk mengangkut barang dan dokar (kereta kuda) untuk angkutan penumpang. Namun, seiring dengan perkembangan zaman, transportasi darat pun mengalami revolusi besar dengan hadirnya kendaraan bermotor.
Awal Mula Transportasi Bermotor di Indonesia
Sekitar tahun 1920-an, seorang perantau keturunan Cina-Jawa dari Kudus bernama Kwa Tjwan Ing bersama istrinya, Siauw King Nio, memulai usaha Autoverhuurder atau persewaan mobil pada tahun 1921. Dengan beberapa unit mobil kecil, layanan ini tidak hanya beroperasi dalam kota, tetapi juga melayani perjalanan ke luar kota.
Kehadiran layanan sewa mobil ini menarik perhatian warga Belanda dan Eropa yang saat itu tinggal di Hindia Belanda. Mereka yang sebelumnya menggunakan dokar mulai beralih ke mobil karena berbagai keunggulan, seperti efisiensi waktu, kenyamanan lebih baik, serta status sosial yang lebih prestisius.
Lahirnya Perusahaan Otobus Pertama di Indonesia
Pada tahun 1923, Kwa Tjwan Ing menciptakan tonggak sejarah baru dengan mendirikan PO bus pertama di Indonesia yang diberi nama ESTO (Eerste Salatigasche Transport Onderneming) yang berarti Perusahaan Transportasi Pertama Salatiga. Bus generasi pertama dari ESTO menggunakan sasis merek Ford, sedangkan generasi kedua menggunakan sasis Chevrolet yang menjadi favorit hingga pasca-kemerdekaan Republik Indonesia.
Desain bus pada masa itu masih sederhana. Hanya terdapat kaca di bagian depan, sementara pintu dan jendela di bagian samping serta belakang tidak memiliki kaca. Interior bus terbagi menjadi tiga bagian: bagian depan untuk ruang kemudi, bagian tengah untuk kelas satu, dan bagian belakang untuk kelas dua.
Sistem Kelas di Bus ESTO
Pada era awal operasinya, ESTO mengikuti sistem sosial yang berlaku saat itu dengan memisahkan warga Belanda dan bumiputra. Kapasitas total bus berkisar antara 16 hingga 18 penumpang, termasuk kru. Bagian depan bus hanya dapat diisi oleh pengemudi dan satu penumpang, sementara bagian tengah dikhususkan untuk kelas satu dengan konfigurasi kursi nyaman menghadap depan dan kapasitas enam penumpang, yang umumnya diperuntukkan bagi warga Belanda. Bagian belakang adalah kelas dua dengan bangku panjang dari rotan yang menghadap belakang dan dapat menampung sepuluh penumpang bumiputra.
Tarif transportasi ini juga berbeda, dengan kelas satu dikenakan biaya 20 sen dan kelas dua hanya 10 sen. Kondektur yang berdiri di pintu belakang bertugas mengatur pembayaran tiket dari para penumpang.
Akhir Perjalanan ESTO
Sebagai pionir dalam industri transportasi darat di Indonesia, ESTO terus berkembang selama beberapa dekade. Namun, sayangnya, pada tahun 2018, PO ESTO resmi berhenti beroperasi setelah hampir satu abad memberikan layanan transportasi kepada masyarakat.
Warisan ESTO tetap dikenang sebagai perintis PO bus di Indonesia, membuka jalan bagi berbagai perusahaan otobus yang saat ini beroperasi di seluruh negeri. Dari sinilah industri transportasi darat berkembang pesat, menghadirkan berbagai PO bus modern dengan fasilitas yang jauh lebih baik dan canggih.
Itulah sekilas sejarah perintis usaha otobus di Indonesia. Dari perjalanan panjang ini, kita bisa melihat bagaimana inovasi transportasi berkembang dan terus beradaptasi dengan kebutuhan zaman. Jadi, setiap kali Anda naik bus antar kota, ingatlah bahwa perjalanan yang Anda nikmati hari ini tidak lepas dari peran besar para perintis seperti ESTO!
0 Komentar